Jumat, November 23

Senyum Dibalik Senyum

BELUM pernah Dosen memberi kuliah begitu kering tak berbumbu. Begitu tandas-tandas. Wajahnya pudar. Nampak dia tak kuasa menyembunyikan rasa sedih atau kekecewaannya. Kuliahnya ditutup dengan basa-basi paling formil: ”Sekian dulu untuk hari ini. Selamat sore.” Lalu dia bergegas pergi.
Sikapnya itu menimbulkan keheranan sementara mahasiswa, terutama mahasiswi. Mereka bergunjing menduga-duga apa yang telah menimpa diri Dosen itu.
”Barangkali dia keletihan,” kata seorang mahasiswa.
”Hari Senin sudah letih?” tukas yang lain. ”Ngapain saja selama week-end?”
”Karena urusan rumah-tangga, barangkali,” ujar seorang mahasiswi.
”Kekurangan uang belanja?” kata yang lain, tapi lantas dibantahnya sendiri. ”Ah, mana bisa. Gajinya cukup besar. Orangtuanya kaya -- bekas ambtenar tinggi kolonial. Wah, sungguh banyak warisannya.”
”Siapa tahu! Ada soal lain, barangkali,” duga mahasiswi lainnya lagi. Sambil ketawa kecil. ”Siapa tahu ... Walaupun sudah setengah abad usianya, dia 'kan masih tampan. Dan isterinya pencemburu!” Dan sebagai argumen, diingatkannya bahwa Sabtu malam lalu, pada pemutaran film dokumenter Kepulauan Sorgaloka di Auditorium Fakultas Sastra dan Bahasa Timur, Dosen itu datang sendirian dan pulang sebelum acara selesai. ”Siapa tahu ...”
Terkaan mahasiswi yang bermuka lonjong, hidung mancung, bibir tipis dan berambut pirang itu ada benarnya. Kecuali soal kemungkinan terjadinya pertengkaran dengan isteri lantaran cemburu. Memang, sesungguhnyalah temperamen manusia itu seperti suhu cuaca atau suasana musim saja. Tidak selalu sama setiap waktu. Namun, para mahasiswa dan mahasiswi itu heran sekali atas sikap yang baru disaksikannya itu. Biasanya, selama ini Dosen itu selalu berwajah cerah yang mencerminkan kejembaran hati dan pikirannya. Matanya yang hitam kebiru-biruan bersinar jernih dan menarik hati. Dan yang paling menarik ialah senyumnya yang tulus, menyebabkan bibirnya yang agak tebal itu menggiurkan para mahasiswi yang lagi genit-genitnya. Badannya agak tinggi dan tegap. Rambutnya ikal hitam lebat. Dengan keramah-tamahannya, dengan senyumnya, dia mudah menerima simpati.
Pernah dalam ngobrol-ngobrol secara akrab di luar ruang kuliah, dia menjelaskan perilakunya itu sebagai warisan dari ibu kandungnya. Orang Solo. Dia sendiri lahir di kota yang aman tenteram berpenduduk sangat lemah-lembut itu. Sedangkan bapaknya orang Belanda. Dia tidak pernah merasa canggung sebagai orang Indo. Bahkan bangga memiliki jiwa ketimuran dan internasional sekaligus. Apa lagi dia bisa bicara sembilan bahasa secara fasih. Profesor yang baik dan rendah hati itu mempunyai pengetahuan yang luas. Akan tetapi jika bicara menyangkut negeri-negeri Timur, negeri-negeri katistiwa, dia sering mengulang ucap pujian negeri ibu kandungnya. Akan keindahan dan kekayaan alamnya yang luarbiasa. Penduduknya yang terdiri dari macam-macam suku-bangsa, yang suka gotong-royong, bermusyawarah dan amat ramah-tamah. Keramah-tamahan yang salah satunya diwujudkan dengan mudahnya menyunting senyuman. Ketika salah seorang mahasiswa menunjukkan rasa herannya, dia bilang:
”Senyum itu bermakna seribu. Sebagai simbol. Sebagai bahasa ... ”
”Tapi, seringkali agak berlebih-lebihan,” ujar mahasiswa itu, Henri. ”Ditujukan pada tiap turis dan tiap saat, senyum bisa menimbulkan salah faham.
”Ya memang bisa terjadi,” sambut Dosen dengan wajah selalu cerah berhiaskan senyumnya yang enteng. Memang dia pernah mendengar kisah-kisah turis Eropa di berbagai kota Asia, seperti Bangkok atau Manila dan lainnya. Ada yang mengartikan senyuman wanita sebagai undangan ke tempat tidur. Ada pula yang beranggapan, orang-orang yang selalu senyum itu otaknya miring. Dan dia menyambung: ”Pengertian orang bisa lain-lain. Yang esensil, senyum itu merupakan sambutan simpati dan keterbukaan hati. Senyum keramah-tamahan.”Bukan bermotif lain? Bukan hipokrisi?” pancing Henri. Beberapa mahasiswa ikut melempar tatapan ke arah Dosen itu dengan penuh penasaran.
Seketika Dosen mengkerutkan keningnya. Sekalipun dia siap menghadapi berbagai pertanyaan, kali itu dia merasa kurang senang. Namun demikian, dia mecoba menguasai dirinya dengan menjawab sambil senyum ringan:”Senyum adalah bahasa sehari-hari mereka. Sebagai anugerah Tuhan yang patut dihargai dan dipelihara.”Nyonya Dosen,” bilang Henri, setelah sejenak terdiam, mengalihkan soal, ”Dewan Mahasiswa akan mengadakan malam pertemuan dan rekreasi. Sudikah kiranya Tuan hadir?”
”Kapan?” tanya Dosen, nadanya penuh ingin tahu.
”Sabtu malam yang akan datang. Pertemuan itu dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter hasil peninjauan kami.”Saya usahakan bisa hadir,” janji Dosen tersebut.
Dan dia menepati janjinya. Henri, begitu juga sementara mahasiswa lainnya senang sekali akan kehadiran Dosen itu. Dengan segala keramah-tamahannya. Senyumnya. Kejembaran hati dan pikirannya mengembang dari detik ke detik, manakala ia menampak layar putih berisi iringan pemandangan indah dan telinganya menangkap melodi merdu. Ketika bermunculan wajah wanita-wanita dan gadis-gadis manis serta ibu-ibu pembesar yang ayu-ayu, Dosen itu berdesis: ”Ah, senyuman itu!” Dan dia merasa begitu senangnya, seakan-akan berada di tengah keluarga ibu kandungnya. Kebanggaannya bertambah mempunyai ibu dari negeri yang mendapat julukan Kepulauan Sorgaloka. Kegembiraannya menggebu-gebu ketika menyaksikan suasana pesta nasional. Di kota-kota besar atau kecil, di jalan-jalan raya atau di Istana, terasa suasana pesta dan wajah-wajah bersungging senyum terabadikan kamera.
Begitu dinamis, lincah dan luwesnya gambaran yang ditayangkan itu - seakan-akan dia benar-benar ikut serta di dalamnya. Terutama sekali pesta di Istana Negara yang sangat mencengkam perhatiannya. ”Oh la la, bidadari-bidadari itu!” desis Dosen, nyaris berteriak, pada saat menampak gadis-gadis manis berpakaian sukubangsanya masing-masing.
Lalu kamera mengarah ke lambang nasional Garuda Bhinneka Tunggal Ika. Lalu ke wajah Presiden dan wajah-wajah tamu negara asing. Para diplomat berserta nyonya. Para pembesar beserta nyonya. Orang-orang terkemuka lainnya, juga beserta nyonya. Semuanya dengan mudah menyunting senyum. Senyum memberi salam. Senyum dalam bercakap-cakap. Senyum ketika menikmati minuman dan santapan lainnya. Dengan iringan musik yang seketika berubah dari mengalun santai meninggi secara berangsur-angsur.selaras dengan keantusiasan manusia-manusia yang sedang makan-minum dengan lahapnya. Garpu, pisau atau sendok yang digenggam mereka berkilat-kilat kena cahya rumpun lampu-lampu yang gemerlapan.
Seketika, begitu sigap kamera beralih ke suasana pesta rakyat di jalan-jalan raya. Ke ledakan dan taburan kembang api di angkasa biru kehitam-hitaman. Ke panggung wayang golek, wayang kulit atau wayang orang. Dengan iringan gamelan, kamera mengetengahkan adegan-adegan perkelahian yang sengit di panggung-panggung pertunjukan itu. Lalu, antara adegan-adegan wayang terselang-seling aksi-aksi penggedoran, perampokan, pembakaran, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan. Dengan senjata-senjata tajam atau bedil. Perorangan atau secara massal. Mayat-mayat bergelimpangan. Di tepi-tepi jalan. Di pantai atau di perkebunan dan sawah-ladang. Lalu adegan-adegan di penjara dan di tempat-tempat tahanan lainnya. Nusakambangan. Pulau Buru. Angin topan membabi-buta.
Seketika kamera kembali ke Istana. Setelah tercengkam oleh gambaran yang mendebarkan hatinya itu, Dosen itu melohok seperti kena hipnotis. Ketika kamera kembali mengarah ke lambang nasional, terlihat olehnya bukan burung garuda perkasa melainkan telah berubah menjadi burung gagak perkasa. Paruh dan cakarnya berlumuran darah. Ruang Istana itu pun telah menjadi begitu suram. Sekalipun para peserta pesta masih terus berpesta. Makan hidangan dengan lahapnya. Tapi daging yang disantap dan minuman yang direguk nampak seperti daging dan darah manusia. Dengan tumpeng dan kepala manusia di tengah-tengah meja. Dan wajah dan senyum para peserta berubah bagaikan wajah dan senyum drakula. Iringan musik, suara penyanyi dan gelak-tawa bercampur-baur memekakkan telinga. Bagai dalam bencana. Gelak-tawa bagai gelak-tawa penyiksa yang sadis dan sinis. Suara penyanyi bagai jerit-tangis wanita-wanita dan anak-anak diterpa malapetaka yang tak terperikan.
Rasa gelisah menguasai diri Dosen tersebut. Kepalanya pening. Ingin muntah. Suasana malam itu tak tertahankan lagi baginya. Lantas dia berusaha sekuat bisa berdiri tegak. Beranjak. Dengan langkah gontai dia keluar, meski pemutaran film itu belum lagi selesai. Pulang tanpa pamit. Tanpa mengucap sepatah kata pada Henri maupun pada mahasiswa-mahasiswi lainnya. Sebagaimana juga yang lainnya, Henri pun heran akan sikap Dosen itu. Apakah film dokumenter tersebut tidak bernilai ataukah ada kesalah-fahaman mengenai cara mengundangnya? Ataukah lantaran kedua-duanya? Sehingga dia merasa dikonfrontasi -- antara kenyataan dan ilusi. Henri khawatir telah menyakiti perasaan atau malah membikin gusar Dosen itu. Tapi, begitupun, biasanya dia tak pernah melupakan sopan-santunnya, dan senyumnya, untuk mengucap sepatah kata. Berterima kasih. Atau paling tidak memberikan sekedar pujian atau kritik yang berharga atas hasil kerja mereka.
Selama beberapa bulan Dosen itu oleh sementara mahasiswa secara diam-diam dijuluki Dosen Yang Kehilangan Senyum. Atau Dosen Minus Senyum. Bahkan ada yang jahil sampai menjulukinya Dosen-Ganjil. Dalam pada itu hanya Henri dan tiga mahasiswa lainnya yang mengetahui sebab-sebab sebenarnya. Ketika kemudian Dosen berbicara dan minta persetujuan mereka untuk melengkapi tulisannya dengan foto-foto dari film dokumenter mereka.Tak lama kemudian, tingkah-laku Dosen itu kembali seperti sedia kala. Wajahnya cerah, mencerminkan hati dan pikirannya yang jembar. Tulisannya telah diterbitkan. Buku yang kulitmukanya berilustrasi topeng disertai macam-macam wajah manusia itu berjudul ”Senyum Di Balik Senyum”.
Powered By Blogger